Jumat, 06 Februari 2009

DKV

Renaisans Desain Komunikasi Visual



Perkembangan dahsyat industri desain komunikasi visual (DKV) dewasa ini, tak lepas dari peran dunia akademis. Kurikulum, sarana prasarana, kompetensi dan kapasitas dosen sebagai garda depan pembaruan DKV ikut menentukan keberadaannya.

Berdasar kenyataan tersebut, ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana mendekonstruksi mitos bahwa kurikulum pendidikan itu selalu ketinggalan jaman. Hal ini hanya bisa dilakukan manakala ada hubungan sinergis antara jagad industri, paraalumnus, paradosen, dan institusi pendidikan desain komunikasi visual.

Dalam catatan saya, pihak industri menginginkan lulusan desain komunikasi visual siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Baik skill drawing, pencarian dan pengungkapan ide gagasan, pengetahuan dan konsep desain, kepiawaian berkomunikasi, maupun penguasaan software dan hardware komputer. Di sisi lain, pihak industri tidak sanggup memikul tanggung jawab sebagai ‘’sekolah lanjutan’’ bagi lulusan perguruan tinggi yang akan memasuki dunia industri komunikasi visual.

Tuntutan dan keinginan semacam itu hampir pasti tidak pernah bisa dipenuhi. Hal itu terjadi, karena pengadaan sarana dan prasarana di perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi desain komunikasi visual, baik swasta apalagi negeri, tidak bisa dengan serta merta mengikuti perkembangan information technology yang melesat dahsyat. Selain itu, menurut amatan saya adalah keberadaan dosen pengampu yang pecah menjadi tiga kubu.

Pertama, dosen full akademik. Keberadaannya kurang mengetahui perkembangan industri desain komunikasi visual yang sebenarnya. Aktivitas kesehariannya adalah: mengajar, mengajar, dan mengajar.

Kedua, dosen yang berorientasi ’’mengoleksi’’ jabatan struktural. Dosen tipe kedua ini hari-harinya lebih disibukkan untuk mengejar kenaikan pangkat fungsional agar bisa menjadi pejabat struktural di lingkungan pekerjaannya. Dosen semacam ini sangat ambisius untuk penjadi priyayi akademik dengan mengupayakan aktivitas kesehariannya sebagai pejabat struktural. Selesai menjabat sebagai Ketua Program Studi atau Ketua Jurusan, maka ia akan mencalonkan diri menjadi Wakil Dekan. Pasca Wakil Dekan, menapaki tangga jabatan struktural yang lebih tinggi lagi: Dekan, Wakil Rektor, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, atau bahkan Rektor.

Ketiga, dosen dengan seragam praktisi murni yang waktunya lebih banyak difokuskan untuk mencari billing, mengejar klien, dan mencari ide desain baru untuk eksekusi verbal visual demi mempertahankan eksistensi pekerjaan kreatifnya yang sudah menjadi darah dagingnya. ?

Karena itulah, sudah saatnya dunia industri jasa komunikasi visual maupun ’’industri pendidikan desain komunikasi visual’’ saling membagi pengalaman dan membantu satu sama lain. Karena setiap penyelenggara pendidikan desain komunikasi visual memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri. Jadi ada kebutuhan simbiosis mutualisma ala sekolah desain komunikasi visual. Yang bisa menjadi pertimbangan adalah memahami karakter dan visi dari pendidikan desain komunikasi visual itu sendiri.

Sebagai studi komparatif seperti diungkapkan Henricus Kusbiantoro, sekolah desain di New York dan San Francisco cenderung lebih “komersial” dan sangat memenuhi kebutuhan industri, para praktisi pun senang terlibat di sana. Berbeda bila kita bertemu dengan sekolah desain di luar New York seperti Cranbrook Academy of Art yang memiliki spesialisasi di bidang eksperimentasi desain dan tipografi. Sementara itu, Yale School of Art dan RISD kuat dalam proses kreatif dan metode Swiss Design. Terkadang mereka “kurang siap” saat memulai karir di kota besar, ini satu dilema yang tak dapat dihindari. Kedua kubu ini, yaitu sekolah “akademis” dan “praktis/komersial” saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling membutuhkan.

Kenyataan semacam itu perlu kita catat dengan lapang dada mengingat kita semua mengharapkan munculnya – meminjam terminologinya Enin - ’’renaisans desain komunikasi visual’’ Indonesia secara menyeluruh. Untuk itu kita perlu melakukan gerakan renaisans dan evaluasi berbagai bidang terkait dengan desain komunikasi visual.

Selama ini kita banyak berkiblat pada pendidikan desain versi Bauhaus. Sayang dalam perkembangannya kita hanya menyontoh sistem pendidikan dasar secara harafiah dan kaku. Tetapi kita melupakan peran Bauhaus sebagai laboratorium desain yang dinamis. Di kampus Bauhaus mahasiswa didorong untuk melakukan eksplorasi, menemukan sesuatu (discover and invent) dan kemudian menuliskan temuan-temuannya.

Mahasiswa juga didorong untuk melakukan evaluasi, mencari dasar pembenaran, memberikan kritik positif dan negatif terhadap karya-karya sejarah. Sebaliknya, dosen jangan hanya mengatakan bahwa kita harus mengikuti panduan pendapat salah satu buku. Dalam konteks ini, tugas dosen adalah sebagai katalisator, memberikan studi banding atas materi-materi atau memberikan inspirasi dan apresiasi dari sudut pandang lain.?
Terkait dengan semangat pendidikan desain ala Bauhaus, sudah saatnya kita mengedepankan konsep ‘’have the end in mind’’. Artinya, kita membayangkan pengetahuan dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh mahasiswa lulusan desain komunikasi visual. Teori-teori dan pelatihan apa saja yang nanti dapat diaplikasikan agar ia bisa bekerja dan berkarya nyata.

Semuanya itu tentu harus dikonfirmasikan, disinergikan dan dikomunikasikan kepada parapihak yang berkompeten di lingkungan industri desain komunikasi visual dan diupayakan agar setiap tahun di-update, karena perkembangan industri desain komunikasi visual sangat dinamis.

Setelah semuanya siap, kristalisasi dari konsep ‘’have the end in mind’’ itu direncanakan dan diejawantahkan dalam berbagai teori yang signifikan untuk diajarkan kepada parapeserta didik. Konsep semacam itu dalam perkembangannya lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual. Setelah itu direncanakan teori dan pelajaran setiap semester. Kemudian bahan dan substansi setiap pelajaran, cara pengajaran, kuantitas, kualitas, dan kompetensi, pengajarnya.

Selanjutnya kita harus memastikan tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan akademis adalah pelajaran teori dan praktik yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pekerjaan. Kalau ini tak dijalankan maka bisa seperti rel kereta api, sejajar tetapi tak ada titik temunya.

Perlu pula dilakukan persamaan pandangan dan pendapat antara dunia akademis dan dunia industri. Kemudian terus menerus diselaraskan dengan perkembangan jaman. Selain itu, mulai semester 4 atau 5, mahasiswa sudah diarahkan menjadi seorang spesialis karena di perusahaan senantiasa mengedepankan spesialisasi.

Para pengajar seyogianya mengetahui dan dilatih dengan metode-metode pengajaran yang betul-betul dapat membimbing anak asuhnya. Mahasiswa (dan juga dosennya) perlu secara periodik memperoleh pengetahuan nyata melalui “dosen tamu” dari pihak industri.

Pihak industri secara legawa bersedia melibatkan paraakademisi dalam berbagai kegiatan industri. Dengan demikian, informasi terkini tentang kebutuhan industri pun bisa ditangkap dengan mulus oleh institusi pendidikan desain komunikasi visual.

Dosen pengampu mata kuliah teori dan praktik yang terkait dengan desain komunikasi visual diberi kesempatan untuk mendalami berbagai macam teori dan praktik di industri melalui proses magang. Dosen tidak cukup magang sekali seumur hidupnya. Seyogianya secara periodik harus keliling bersinergi di antaranya dengan berbagai advertising agency, media spesialis, event organizer, production house, percetakan, penerbitan, dan studio desain komunikasi visual. Setelah itu setiap 2-3 tahun mengikuti refreshing course. Bukankah mendapatkan pengalaman secara komprehensif juga merupakan bagian dari suatu proses pendidikan?

Jika hal tersebut bisa dilakukan secara sistematis maka niscaya kita bisa mengurangi kesenjangan antara dunia industri dengan lembaga pendidikan desain komunikasi visual.

Jumat, 16 Januari 2009

Flash yang selama ini dikenal sebagai software animasi dua dimensi jamak digunakan untuk memproduksi animasi Web yang umumnya berupa kartun singkat. Ternyata, ke- mampuan Flash terbilang cukup dahsyat untuk membuat film animasi! Sangat disayangkan, ada banyak orang yang menganggap remeh kemampuan Flash dalam berkreasi.

Flash Mudah dan Andal
Macromedia Flash memiliki berbagai tool menggambar yang sederhana. Menurut Muh Chairuddin alias Udien (Anak Kampoeng), Flash berbeda dari program yang lain, cara penganimasiannya mudah, bisa membentuk animasi frame perframe atau movie clip per
movie clip. Movie clip adalah gabungan dari animasi frame per frame atau animasi objek
yang digerakkan (istilah Flashnya: motion tween/motion shape). Andi S. Budiman, Principal Digital Studio, bercerita bahwa Flash, pada awalnya dirancang untuk membuat kartun. Jadi, untuk membuat animasi, masih ada beberapa faktor teknis yang perlu disiapkan. Flash masih memiliki kendala pada besarnya file dan library, namun bisa di-handle dengan mem-breakdown film menjadi sejumlah scene yang kecil. Jadi, tidak semua film ditampung dalam 1 file. Kenapa pembuatan film dengan Flash memakan waktu yang lama? Menurut Andi, pada awal setup pembuatanfilm, semua objek harus di-
breakdown menjadi simbol. Ini bisa menjelaskan kenapa manajemen library sangat diperlukan. Satu library bisa berisi beberapa simbol dengan jenis yang berbeda, bisa berupa movie clip atau button. Nah, setelah setup dan urusan library selesai, kita bisa mengakses semua simbol yang ada kapan saja.

Karakter Kartun yang Fleksibel
Kebanyakan pengguna Flash selalu membuat sketsa karakter terlebih dulu di atas kertas –semua dimulai dari konsepnya. Setelah itu, karakter digambar ulang langsung ke komputer dengan Flash, atau discan dahulu, atau digambar ulang dengan pen mouse.
Karakter yang dihasilkan Flash bisa berbentuk karakter yang luwes, bisa juga karakter
yang kaku. Contoh karakter luwes adalah karakter-karakter yang dibuat oleh Disney atau
Warner Bross. Tapi, kebanyakan film animasi Flash memiliki bentuk yang kaku, walaupun tidak semuanya begitu. Nyamokanimasi (Anak Kampoeng) contohnya, sejak awal mempunyai ide dan konsep untuk membuat animasi kaku seperti yang bisa
dilihat di situsnya. Bagaimana dengan fitur trace bitmap? Apakah bisamemudahkan pembuatan karakter? Sebagai nasihat, untuk membuat karakter kartun, sebaiknya kita
menghindari penggunaan fitur trace bitmap. “Trace bitmap efektif untuk mensimulasi dan
simplifikasi background atau gambar ilustrasi. Untuk membuat desain karakter yang
sesungguhnya, sebaiknya fungsi ini dihindari karena tidak bisa kita kontrol posisi titik-titiknya”, ujar Budi. Udien juga berpendapat serupa, “Trace bitmap agak sulit digunakan
untuk membuat pergerakan objek, kecuali jika animasi dilakukan frame by frame.”
Flash Bukan Aplikasi Kacangan
Flash adalah aplikasi yang bersahabat dan mudah dipelajari, jadi jangan heran jika Flash bisa populer dan banyak orang bisa menguasainya. Yang jadi masalah adalah munculnya
anggapan kurang baik mengenai Flash dari kalangan artis profesional. Anggapan tersebut, menurut Budi, muncul karena kebanyakan seniman-seniman Flash yang ada
adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang teknik animasi. Ada pula omongan miring yang mengatakan bahwa Flash hanya mampu menghasilkan animasi
berkualitas rendah. Sebagai informasi, Budi mengatakan, ada beberapa studio yang sudah mulai mengadopsi Flash, tapi tanpa ada publikasi luas. Malahan hasil-hasil karya mereka tidak punya Flash-look tapi arahan seninya begitu kuat, seperti bukan hasil olahan Flash.
Mengintip Hasil Karya Flash Mau lihat contohnya film-film animasi keren yang diolah
di Flash, plus dengan profil para animator atau studionya? Coba intip di alamat-alamat
berikut.
1. Hidayat Priyo Nugroho dan Muh Chairuddin – Anak Kampoeng
(www.nyamokanimation.com)
2. Trevor Bentley, Mauro Casalese, Rob Davies - Atomic Cartoons
(www.atomiccartoons.com)
3. Bob Cesca - Camp Chaos
(www.campchaos.com)
4. Ron Crown – Bardel Entertainment
(www.bardelanimation.com)
5. John Evershed - Mondo Media
(www.mondomedia.com)
6. Johan Liedgren, Damian Payne, Dan Pepper – Honkworm International
(www.honkworm.com)

Jumat, 05 Desember 2008

Kamis, 04 Desember 2008

my blog

kunjungi kesini